ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) atau China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) akhir-akhir ini menjadi keyword yang sangat laku dalam dunia perdagangan internasional Indonesia. Sebagian besar menganggapnya sebagai ancaman, sebagian kecil yang lain menganggapnya sebagai tantangan. Mengapakah CAFTA menjadi ancaman sekaligus tantangan ? Apakah perbedaan dalam memandang itu berasal dari persepsi bangsa Indonesia terhadap tantangan-ancaman, ataukah memang CAFTA itu memiliki tujuan sekaligus konsekuensi berupa ancaman ?
Kata tantangan (challenge) sering sekali dianggap sama dengan ancaman (threat). Namun demikian, bagi yang memahami keduanya secara terpisah bisa meletakkan keduanya secara proporsional. Istilah "challenge" didefinisikan sebagai a call to engage in a contest, fight, or competition. Hal ini menyiratkan sebuah perjuangan dalam perdagangan antar negara dimana masing-masing pihak mencari cara agar bisa survive bahkan menjadi pemenang. Di sisi lain, "threat" didefinisikan sebagai a person or thing that is regarded as dangerous or likely to inflict pain or misery.
AFTA atau ASEAN FREE TRADE AREA telah disetujui sejak tahun 1992 oleh keenam negara ASEAN dan kemudian oleh empat negara ASEAN tambahan. Dengan berangkat dari titik tolak itu, seharusnya persiapan terhadap Zona Bebas Perdagangan (FTA) ini telah dilakukan oleh semua stakeholder Indonesia mulai dari pemerintah, pengusaha sampai dengan rakyat Indonesia. Selama kurun waktu 1992 sampai 2009, bangsa kita terlampau berkutat masalah dalam negeri, terutama dalam hal hukum, sosial serta hal-hal yang mengaburkan persiapan terhadap perdagangan.
Ketika AFTA disetujui di KTT Singapura, seharusnya kita semua menjadikannya sebagai sebuah tantangan. Setelah kondisi sedemikian teruk, dimana kita saat ini belum siap, benar adanya ACFTA maupun FTA-FTA yang lain merupakan ancaman yang akan menyengsarakan rakyat kita. Selama ini kita masuk ke dalam perjanjian-perjanjian yang belum tentu bisa dilaksanakan.
Bangsa Indonesia bukanlah bangsa NATO = No Action Talk Only, namun bangsa yang Action but No Planning. Paling tidak kita bisa belajar bahwa kita belum siap menghadapi perdagangan bebas dunia yang tentu hasilnya lebih parah lagi. Benar, ACFTA merupakan tantangan bagi bagi bangsa Indonesia namun saat ini merupakan sebuah ancaman. Kita melupakan bahwa sang maestro perdagangan ACFTA, Cina, memiliki filosofi yang memandang bahwa krisis memiliki dua makna tantangan dan ancaman. Kita nampaknya lupa untuk mengenal diri kita sehingga kitapun lupa untuk mengenal lawan kita. Apabila kita memandang bahwa apapun yang berasal dari luar diri kita adalah ancaman, maka kita tidak bisa memandang hal itu sebagai tantangan. Baru, setelah kita memandang ancaman sebagai tantangan, maka kita bisa melihat kesempatan-kesempatan yang ada kendatipun kesempatan itu kecil.
Read More..