Monday, April 28, 2014

Integrasi antar sektor dalam perekonomian Indonesia (2)

Bagian kedua ini aku tulis setelah siangnya aku mengunjungi INACRAFT 2014, sebuah pameran kerajinan Indonesia berskala internasional yang dihadiri oleh seller maupun buyer.

Ketika aku masuk ke dalam lorong-lorong etalase pameran, aku terkagum-kagum akan kreativitas bangsa Indonesia yang tercermin dari beragamnya karya-karya anak bangsa yang muncul karena kreativitas. Kemunculan dari salah satu subsektor industri kreatif still on the process of making.

Meski kerajinan Nusantara sudah sangat mengagumkan sejak jaman dahulu kala, namun menjadikannya sebuah subsektor yang luar biasa menghasilkan kesejahteraan merupakan sebuah tantangan tersendiri.

Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Perindustrian menjadikan kerajinan menjadi salah satu dari limabelas subsektor industri kreatif. Industri kreatif didefinisikan sebuah industri yang menghasilkan nilai tambah dengan pengetahuan dan informasi, sebuah sektor yang saat ini sedang tumbuh dan memperoleh pengakuan "legally". Industri kreatif diharapkan bisa menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Pernahkah anda bayangkan bagaimana sektor industri kreatif ini telah merubah lanskap kehidupan kita ? Ketika kita berkunjung ke sebuah daerah atau negara, salah satu yang ingin kita kunjungi adalah tempat dimana kita bisa mendapatkan makanan dan minuman. Ketika kita ingin pergi ke sebuah negara asing-pun kita membuka website dan mencari informasi dari berbagai macam website yang memberikan layanan informasi. Layanan informasi dari sebuah web-lah yang membawa kita untuk berlibur ke sebuah daerah karena iklannya sangat menawan. Masih banyak lagi lingkup dari industri kreatif ini. Bolah dikata, sebenarnya industri kreatif itu ada, sebelum ia didefinisikan secara resmi oleh kementrian perdagangan. Secara lebih lengkapnya dapat disebutkan kelimabelas sub-sektor Indonesia adalah sebagai berikut :
  1. Periklanan
  2. Arsitektur
  3. Pasar Barang Seni
  4. Kerajinan
  5. Desain
  6. Fesyen
  7. Video, Film dan Fotografi
  8. Permainan Interaktif
  9. Musik
  10. Seni Pertunjukan
  11. Penerbitan dan Percetakan
  12. Layanan Komputer dan Piranti Lunak
  13. Televisi dan Radio
  14. Riset dan Pengembangan
  15. Kuliner
Keberadaan industri kreatif sebagai lokomotif perekonomian bangsa ini bukan berarti menghilangkan sektor "terdahulu" seperti pertanian, pertambangan, manufaktur dan jasa, namun memberikan nilai tambah.

Seorang temen alumni Pertanian maupun Teknologi Industri Pertanian pernah sharing kepada penulis bahwa nilai tambah pertanian komoditas pertanian bisa meningkat karena keberadaan industri kreatif. Komoditas kopi yang dahulu hanya dianggap sebagai komoditas ekspor dimana petani Indonesia hanya dapat sedikit bagian keuntungan, dimana keuntungan disisi eksportir, importir di negeri tujuan dan roaster sangat besar sekali. Muncul istilah "coffee paradox" dalam perdagangan kopi dimana harga ditingkat petani rendah namun harga diluar negeri tinggi. Saat ini menjamur berbagai kedai kopi nusantara yang menjual kopi kualitas tinggi yang menjual dengan harga terjangkau namun transaction cost-nya fair. Bagaimana mungkin ?

Dengan munculnya geliat semangat untuk melakukan sertifikasi kopi arabica spesial, maka perusahaan besar korporasi tidak bisa menentukan kualitas versi korporasi tersebut. Korporasi harus mencantumkan nama kopi spesial tersebut ketika menggunakan kopi arabika yang berasal dari suatu daerah. Apabila korporasi melakukan blending (pencampuran) maka pada kemasan harus dicantumkan pula komposisi. Dampaknya adalah harga kopi di tingkat petani untuk komoditas IG tersebut tinggi, sehingga petani memiliki keuntungan yang lebih dan akan dengan sukacita menanam dan memelihara kopi yang bagus.

Bagaimana mungkin itu terjadi ? Salah satunya adalah adanya social media yang memungkinkan petani menjual langsung pada konsumen di luar negeri dan petani juga bisa berhubungan langsung dengan kedai kopi dalam negeri. Selain itu, konsumen maupun petani memiliki akses yang sama terhadap proses jual-beli kopi spesial. Dengan social media dan semakin murah dan luasnya koneksi sampai dengan pedesaan, maka petani kopi bisa langsung berhubungan dengan kedai kopi, bahkan dengan konsumen Indonesia. Kedai kopi memberikan suatu tempat untuk berkumpul dan memberikan pelayanan penyeduhan khusus bagi penikmat kopi. Dan yang lebih menggembirakan, kedai kopi menjadi tempat bertemu para pegiat-pegiat industri kreatif untuk menentukan desain, mendiskusikan novel yang akan diterbitkan serta menjadi ajang untuk memperkenalkan kuliner terbaru.

Industri kreatif memang sangat menjanjikan, terutama apabila digabungkan dengan potensi pada sektor lain. Namun, industri kreatif memang memerlukan sebuah ruang-publik untuk berkreasi. Ruang publik ini bisa berupa taman atau bisa berupa kedai kopi. Karena ternyata, berdasarkan sebuah penelitian, kreativitas dan berfikir diluar otak justru terjadi ketika terjadi interaksi sosial, bukan dalam perpustakaan yang sempit dan sepi.



 
Read More..

Saturday, April 26, 2014

Integrasi antar sektor dalam perekonomian Indonesia (Bagian I)

Seorang mahasiswa bertanya kepada saya, "Pak, sebenarnya arah perkembangan Indonesia itu diarahkan ke mana dalam fase perkembangan perekonomian berbasis ekstraktif, manufaktur ataukah jasa?". 

Dengan sedikit tertegun aku diam sejenak, untuk mengingat kembali dan menata pengetahuanku tentang perkembangan perekonomian Indonesia. Saya bukanlah dosen ilmu ekonomi makro, meski aku mendapatkan mata kuliah pengantar ekonomi, ekonomi mikro maupun ekonomi makro. Beruntung sekali jaman dahulu mahasiswa Teknik Industri masih mendapat mata kuliah dasar berupa ilmu ekonomi. Saya juga pernah belajar Ekonomi Industri sehingga bagi saya pertanyaan itu sangat mudah untuk dijawab. Namun menerangkan arah perkembangan Indonesia dari aspek ekonomi, bukan hanya menguasai materi, namun juga harus berangkat dari kacamata mahasiswa Teknologi Industri Pertanian. Pada saat itu, aku menjawab kurang lebihnya menggunakan alur cerita di bawah ini.

A. Konteks Global
Fase perkembangan perekonomian tidak dapat dianggap linier begitu saja. Dalam arti kata, tidak bisa dikatakan bahwa sebuah negara yang mengandalkan sektor jasa harus melalui sektor manufaktur terlebih dahulu agar mencapai perkembangan sektor jasa. Atau bukan berarti pula bahwa sebuah negara harus mengolah hasil pertanian terlebih dahulu untuk mencapai negara berbasis jasa. Negara-negara di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan negara Timur Tengah lain yang hidup dari mengandalkan sektor ekstraktif pertambangan tidak harus mendirikan industri manufaktur terlebih dahulu untuk mencapai sektor jasa. Mereka setelah sekian tahun hidup dan menikmati pendapatan negara dari minyak sehingga telah mengumpulkan modal sedemikian banyak. Setelah terkumpul modal mereka kemudian membangun sektor jasa sebagai sumber pendapatan bangsa ke depan karena sektor ekstraktif itu tak terbarukan. 

Konsep perkembangan ekonomi melalui berbagai fase tersebut diadopsi dari "evolusi" perekonomian di Barat. Sejarah perkembangan di Barat, sebagaimana bangsa-bangsa di belahan bumi lain mengandalkan pada sektor ekstraktif untuk membangun dan memenuhi kebutuhan sebuah negeri. Ketika tidak dapat memenuhi kebutuhan dari dalam negeri, mereka membeli melalui perdagangan yang ada pada saat itu. Dapat dibayangkan betapa pentingnya sektor pertanian dalam artian luas waktu itu. Pertanian dalam arti luas adalah sektor ekstraktif yang diperoleh dari hasil pertanian tradisional, perkebunan, peternakan dan kelautan. Pada fase ini, negeri-negeri yang terletak pada zona tropis maupun subtropis memiliki keunggulan komparatif dibandingkan negeri-negeri pada posisi lintang di atasnya. 

Jalur perdagangan laut maupun darat sangat ramai pada waktu itu antara sisi timur (Asia) dengan sisi Barat (Eropa). Pada waktu itu terdapat jalur sutra (darat) dan jalur laut. Tidak mengherankan apabila perdagangan memperjualbelikan barang-barang dari timur ke barat sangat ramai. Rute perdagangan yang ada menghasilkan beberapa port/pelabuhan maupun kota menjadi supply hub atau titik pasokan. Salah satu kota pelabuhan yang ada adalah Iskandariah di Mesir yang sekarang dikenal sebagai kota Kairo dan kota konstantinopel yang serkarang dikenal sebagai kota Istanbul di Turki.

Penguasaan Konstantinopel oleh Kekhalifahan Turki Utsmani telah menutup jaur perdagangan Eropa. Kejadian itu hanyalah akhir dari perbedaan-perbedaan antara Islam dan Kristen di Eropa yang sebenarnya sudah terjadi sejak sebelum penguasaan tersebut. Jalur perdagangan ke Eropa yang melewati wilayah Timur Tengah yang sering menjadi ladang pertempuran menjadikan harga-harga tidak stabil dan bahkan terancam kontinyitasnya. Oleh karena itu, sejak 1492 negeri Eropa melakukan penjelajahan samudra sampai dengan penguasaan jalur perdagangan hingga berdirinya perusahaan perdagangan multinasional hingga penguasaan secara politis negeri-negeri jajahan di wilayah tropis dan subtropis di Asia maupun Amerika Latin. Indonesia yang kala itu masih terdiri dari berbagai kerajaan kecil tidak luput dari "takdir" sejarah. Perdagangan antar kerajaan di dalam nusantara maupun ke luar nusantara dengan pedagang-pedagang India, Cina dan Melayu dikuasai oleh negeri Eropa yang ekspansif. Perilaku bangsa Eropa yang agresif dan berperan sebagai agresor adalah sudut pandang mereka bahwa Nusantara dan sekitarnya merupakan ladang yang sangat penting. Berkembangnya aliran ekonomi Merkantilisme turut mempengaruhi "perilaku" bangsa Eropa dalam mengeksploarsi dan mengeksploitasi perdagangan luar negeri dengan bangsa-bangsa di wilayah tropis dan subtropis. Inilah yang kelak dikemudian hari menjadikan bangsa Eropa memiliki wilayah di luar benua Eropa.

B. Kontekstualisasi Nusantara dan Indonesia

Jaman dahulu kala, Indonesia dikenal sebagai negeri agraris dengan pertanian sebagai soko guru perekonomian. Bagaimana tidak, sejak jaman kerajaan-kerajaan pertanian  menghidupi negeri Nusantara. Namun, fase ekstraktif ini juga berlaku pada semua bangsa di dunia. Boleh dikatakan, starting awal fase perekonomian berawal dari kegiatan ekstraktif. 

Sejak VOC melakukan bisnis di Nusantara, dan kemudian beberapa wilayah Nusantara berada di bawah kekuasaan negeri Belanda dan dinamai sebagai Hindia Belanda, orientasi perdagangan hasil pertanian berupa tanaman industri. Hal ini turut dipengaruhi oleh aliran ekonomi merkantilis yang mengedepankan ekspor.

Ajaran merkantilisme dominan sekali diajarkan di seluruh sekolah Eropa pada awal periode modern (dari abad ke-16 sampai ke-18, era dimana kesadaran bernegara sudah mulai timbul). Peristiwa ini memicu, untuk pertama kalinya, intervensi suatu negara dalam mengatur perekonomiannya yang akhirnya pada zaman ini pula sistem kapitalisme mulai lahir. Kebutuhan akan pasar yang diajarkan oleh teori merkantilisme akhirnya mendorong terjadinya banyak peperangan dikalangan negara Eropa dan era imperialisme Eropa akhirnya dimulai. Sistem ekonomi merkantilisme mulai menghilang pada akhir abad ke-18, seiring dengan munculnya teori ekonomi baru yang diajukan oleh Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations, ketika sistem ekonomi baru diadopsi oleh Inggris, yang notabene saat itu adalah negara industri terbesar di dunia. (Diadopsi dari Wikipiedia)
Proses perubahan aliran Merkantilisme menjadi aliran klasik tidak keseluruhan diadopsi secara merata di Eropa. Inggris dianggap sebagai pengadopsi sukses teori Adam Smith sehingga berhasil melakukan revolusi industri. Fase inilah kemudian didefinisikan sebagai perubahan fase ekstraktif ke industri. Dalam hal ini, persaingan dimenangkan oleh rumpun bangsa Anglo-Saxon (Inggris dan koloni Amerika) dan industrialisasi terjadi di Inggris dan Amerika Serikat bagian Utara. Amerika Serikat bagian selatan masih mengandalkan pada perekonomian berbasis pertanian.

Belanda termasuk terlambat dalam mengadopsi revolusi industri dan terlambat dalam perkembangan perekonomian. Pada tahun 1799, VOC dibubarkan dan semua akses dikuasai oleh Hindia Belanda. Beberapa wilayah nusantara dikuasai oleh Belanda.
Meskipun terlambat dalam melakukan revolusi industri, namun bangsa Belanda dianggap sebagai bangsa pedagang yang mampu menguasai perdagangan perkebunan pada era berdiri sampai dengan pembubarannya.

 

Karena kas keuangan Belanda kosong, sejak 1800 di pulau Jawa dilakukan culturstelsel atau tanam paksa. Dikuasainya Pulau Jawa oleh Belanda dikarenakan sejak jaman VOC kerajaan Mataram yang dikuasai oleh Belanda secara defacto telah dikuasai VOC.

Read More..

Tuesday, April 22, 2014

Mempertanyakan Efektivitas Indikasi Geografis Lokalitas Indonesia

Pernahkah anda dengar istilah indikasi geografis atau produk berindikasi geografis ?
Apakah anda tahu bahwa beberapa produk lokal pertanian Indonesia telah mengantongi sertifikat yang menyatakan asal muasal ?

Kalau belum mendengar alangkah baiknya kita bareng-bareng ngebahas apa yang disebut dengan indikasi geografis dan potensinya terhadap perdagangan produk lokal Indonesia ?

Baiklah, secara sederhana mari kita lihat Indonesia Raya ini, sebuah negeri yang konon kaya raya akan hasil alam. Sejak jaman sebelum bangsa Eropa datang ke Nusantara, kerajaan-kerajaan pribumi telah berdagang dengan pedagang-pedagang dari Cina, India, Persia, Arab maupun pedagang-pedagang dari belahan bumi lain. Kelebihan kepulauan Indonesia adalah posisinya di seputaran katulistiwa yang hanya memiliki dua musim beserta tanah vulkaniknya yang subur. Setelah bangsa Eropa sampai di Nusantara, mereka kemudian melihat potensi untuk menguasai sumber-sumber yang berelimpahan itu.  Dan kita tahu semua akhir dari kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia. Karena pengumpulan modal/akumulasi modal, bangsa Eropa kemudian menjadi penggerak pertumbuhan dunia, sehingga pada akhirnya, bangsa-bangsa di seputaran khatulistiwa hanya bisa mengandalkan pada keberlimpahan sumber daya dan harus mengejar ketertinggalan dalam hal teknologi dan penguasaan modal.


Bagaimana dengan negeri-negeri yang tertinggal dan terutama masih mengandalkan pada komoditas pertanian ? Well, hasil alam berupa komoditas itu hanya memiliki nilai tambah kecil dalam perdagangan. Namun lucunya, apabila pasokan tersendat, komoditas melambung tinggi di daerah konsumsi (baca : negara maju) dan mengalami scarcity. Namun apabila berlimpah maka harga turun dan negara maju senang dan happy. Masalahnya adalah, dalam rantai pasok global, produsen yang sebenarnya (petani) biasanya mendapatkan keuntungan yang kecil sedangkan keuntungan besar pada pedagang antara dan produsen hilir.

Petani kopi mendapatkan keuntungan kecil dibandingkan eksportir, importir dan roaster yang memperoleh ekonomi rente yang tinggi. Mengapa ? Karena kopi dalam bentuknya yang komoditas bersifat indeferen satu sama lain. Sebagai ilustrasi, kopi arabika yang berkualitas tinggi dicampur dengan robusta yang rendah harganya akan menghasilkan bulk commodity dengan harga yang lebih rendah dibandingkan kopi arabika dalam volume yang sama. Hal ini disebabkan tidak ada diferensiasi produk dan kualitas. Petanipun jadi enggan untuk menanam dan memproduksi kopi yang berkualitas tinggi, karena toh harganya juga sama.

Lalu muncullah HAKI untuk lokasi geografis atau indikasi geografis yang memberikan kekhasan produk lokal yang memberikan kualitas dan citarasa yang berbeda-beda. Misalnya, jaman sekarang ada produk Arabika Gayo, Kintamani, Mandhailing, Bajawa, Toraja yang masing-masing berbeda citarasa sesuai dengan asal daerahnya. Untuk tanaman kopi, teori mikroklimat berlaku, dimana suatu varietas ditanam pada tanah dan iklim yang berbeda akan menyebabkan citarasa dan berbeda pula. Bagitu pula branding suatu wilayah penghasil tertentu mempegaruhi persepsi pembeli. Berdasarkan survei lapangan yang telah dilakukan, brand Arabika mempengaruhi harga di petani. 

Dengan alasan tersebut, maka banyak sekali pemerintah daerah yang memotivasi sertifikasi bagi produk-produk berbasis lokal diluar kopi, misalnya salak pondoh sleman. Pertanyaan selanjutnya adalah, cukup efektifkah indikasi geografis bagi peningkatan kesejahteraan petani untuk produk-produk diluar kopi ? Pertanyaan ini perlu diajukan karena rantai pasok untuk masing-masing komoditas pertanian berbeda-beda, sehingga efektivitas IG pada kopi belum tentu sama untuk komoditas lain.







Read More..

Tuesday, March 25, 2014

Industri Karet Rakyat : memprihatinkan atau menggembirakan ?

Industri karet nasional boleh dikatakan salah satu industri yang dibanggakan oleh pemerintah kita sebagai salah satu agroindustri yang mendatangkan banyak devisa negara. Namun demikian, masih banyak sekali PR yang harus diselesaikan mengenai : ke arah mana agroindustri karet kita ini diarahkan dan bagaimana mencapai itu ?

Pertanyaan yang saya ajukan tidaklah berlebihan tatkala melihat realitas di lapangan yang sering sekali membuat geleng-geleng kepala ? Bagaimana tidak menggelengkan kepala ketika kita melihat produktivitas lahan yang rendah, kualitas yang rendah, tidak adanya trust diantara para pelaku dan masih banyak sekali PR pada level rantai pasok maupun pada level kebijakan sektoral.

Pada kebijakan sektoral, muncul pertanyaan, yaitu ke arah mana akan dibawa ? Selama ini agroindutri karet kita hanya sebatas menghasilkan produk antara semacam RSS, SIR, Brown Crepe dan hasil intermediate industry. Ke manakah produk-produk itu dijual apabila tidak untuk tujuan ekspor. Karena kebutuhan akan produk-produk tersebut tinggi secara global, maka dijual ke luar kepada produsen-produsen ban.  Sering sekali produk-produk tersebut dijual ke Singapura dan dijual kembali ke Indonesia dengan harga yang lebih tinggi. Dalam hal ini kita hanya sebagai produsen produk-produk bernilai rendah dengan menggunakan tenaga kerja dan sumber daya yang banyak berupa lahan untuk kemudian diekspor. Pabrik ban nasional, untuk mendapatkan bahan baku harus mengimpor dari Singapura. Dapat dilihat bahwa rente ekonomis terbesar adalah pada eksportir yang memperoleh margin besar karena nilai tukar rupiah terhadap dolar.

Kedua, permasalahan tidak standarnya kualitas bokar yang seharusnya menggunakan SNI namun selama ini menggunakan standar berbasis basah (wet-based). Dengan adanya basis basah ini, maka transaksi diantara petani-pengumpul-pabrikan bersifat high risk. Petani sering sekali nakal dengan mencampur dengan bahan-bahan asing dan melakukan penggumpalan dengan bahan non standar, sedangkan pengumpul dan pedagang antara karena tidak ingin rugi akhirnya berusaha membeli serendah-rendahnya untuk menghindari resiko. Dengan adanya kecenderungan itu, sering sekali terlihat bahwa diantara pelaku sering "kucing-kucingan" dan tidak transparan.






Read More..

Indikasi Geografis : sekedar proteksi dan pengakuan belaka ?

Indikasi geografis dewasa ini sedang menjadi topik yang hangat di kalangan terkait hasil pertanian Indonesia. Setelah kesuksesan Kopi Arabika Kintamani memperoleh sertifikat geografis, maka selanjutnya pemerintah Indonesia bersemangat untuk memasyarakatkan dan memotivasi daerah-daerah yang memiliki komoditas pertanian spesifik khas seperti Salak Pondoh Sleman, Kopi Arabika Java Preanger, Buah Carica Wonosobo dan lain sebagainya.


Sebagian berharap banyak dengan adanya indikasi geografis ini, sedangkan sebagian hanya menganggapnya sebagai sebuah fad dan trend yang nantinya menjadi semacam hoax yang hangat-hangat tai ayam. Bagaimanakah seharusnya para stakeholder memahami indikasi geografis ini ?

Pilot project indikasi geografis Arabika Kintamani dinyatakan berhasil, namun demikian perlu adanya penguatan pada sisi sistem inovasi dan kohesivitas pada sisi pemangku indikasi geografis. Indikasi geografis merupakan salah satu tools TRIP (Trade Related Intelectual Property) yang dimiliki secara kolektif. Hal ini menyebabkan perbedaan GIS (Geographical Indication Sertificate) dengan trademark yang bisa dimiliki oleh pribadi maupun badan hukum. Pada kasus kopi bersertifikasi GI, perusahaan atau pihak yang menjual kopi Arabika Kintamani harus mencantumkan "Arabika Kintamani" pada produknya, begitu pula apabila produk menggunakan campuran Arabika Kintamani, maka harus mencantumkan berapa persen campurannya. 

Paling tidak harus terjadi penguatan dari sisi perlindungan legal keluar dan penguatan dan pembelajaran ke dalam. Tanpa adanya upaya yang integratif, indikasi geografis hanyalah identitas saja tanpa kekuatan legal dan kekuatan produk.

Beberapa model pengembangan yang dapat digunakan untuk penguatan internal (ke-dalam) adalah model kelembagaan dan model rural innovation system yang didukung oleh sistem informasi dan knowledge management. Model kelembagaan yang tepat diperlukan untuk menciptakan sinergi antar pengambil kebijakan untuk mendukung rural innovation system (sistem inovasi pedesaan). Sistem kelembagaan dan sistem inovasi didukung oleh sistem informasi keluar dan kedalam untuk memasyarakatkan indikasi geografis. Knowledge management dapat diterapkan dalam rural innovation system untuk menciptakan antar elemen-elemn strategis agar tercapai sinergi ke dalam.


 Masyarakat pedesaan biasanya memiliki indegenous knowledge yang harus bisa diintegrasikan dengan marketing knowledge dan quality knowledge sebagai pengejawantahan dari karakteristik kualitas yang ada dalam Buku Indikasi Geografis produk yang dimaksud.Masyarakat petani salak pondoh Sleman misalnya, telah memiliki knowledge pembibitan, persemaian, penanaman dan pemanenan. Namun masyrakat petani Sleman tidak memiliki marketing knowledge dan product quality knowledge. Strategi lain yang dapat dipakai barangkali adalah  mengintegrasikan dengan karakteristik Jogja sebagai daerah wisata atau dengan kata lain "nebeng" tenar. Hal ini dapat dilakukan apabila sistem kelembagaan mengintegrasikan dinas pertanian dan dinas pariwisata beserta pelaku wisata lain. Karakteristik-karakteristik unggul lain harus diperhatikan untuk memperoleh "keunggulan komparatif" dengan memakai "keunggulan kompetitif daerah". 
Read More..

Saturday, October 23, 2010

Green Productivity : sebuah oxymoron baru ?

Green Productivity diperkenalkan pada tahun 1994, sebagai efek dari 1992 Earth Summit yang membahas masalah lingkungan. Secara sepintas, green productivity seakan merupakan salah satu dari sekian banyak oxymoron yang bergentayangan dalam dunia yang serba chaotic ini. Kesejahteraan yang semula dipandang linier sebagai akumulasi dari modal ekonomis yang dimiliki, perlu direvisi karena kesejahteraan merupakan sesuatu yang sangat universal dan meliputi berbagai aspek selain aspek ekonomis. Apakah green productivity sebuah oxymoron ?

Read More..

Saturday, October 16, 2010

Agroindustri Indonesia : Buah Simalakama ?

Judul diatas, penulis buat karena prihatin dengan kondisi agroindustri Indonesia. Bagaimana tidak ? Agroindustri ini boleh dikatakan sebagai industri lip service, karena selama ini agroindustri sering sekali digembar-gemborkan sebagai salah satu pilar perekonomian Indonesia, namun kurang sekali benar-benar digarap secara terintegrasi.





Pemerintah, melalui beberapa departemen dan instansi terkait sering membuat model pengembangan agroindustri melalui berbagai skema yang dibuat oleh beberapa departemen terkait secara terpisah. Hal ini kontradiktif dengan karakteristik dari agroindustri yang perlu digarap secara terintegrasi, baik dalam skala mikro (proses), meso (unit bisnis/korporasi) maupun makro (kebijakan sektor).

Dapat kita lihat misalnya pada penggalakan intensifikasi dan difersifikasi pada level petani kurang disertai dengan pemahaman petani mengenai persyaratan mutu agroindustri. Kalaupun kualitas dari para petani ini sudah baik, maka kebijakan perdagangan dan industri Indonesia kurang memberikan perlindungan terhadap kelangsungan sebuah agroindustri.Bagaimana mungkin agroindustri Indonesia dapat bersaing dengan perusahaan raksasa pengekspor produk-produk hasil pertanian yang dapat membanjirkan produk-produknya ke Indonesia ?


Read More..