Tuesday, March 25, 2014

Industri Karet Rakyat : memprihatinkan atau menggembirakan ?

Industri karet nasional boleh dikatakan salah satu industri yang dibanggakan oleh pemerintah kita sebagai salah satu agroindustri yang mendatangkan banyak devisa negara. Namun demikian, masih banyak sekali PR yang harus diselesaikan mengenai : ke arah mana agroindustri karet kita ini diarahkan dan bagaimana mencapai itu ?

Pertanyaan yang saya ajukan tidaklah berlebihan tatkala melihat realitas di lapangan yang sering sekali membuat geleng-geleng kepala ? Bagaimana tidak menggelengkan kepala ketika kita melihat produktivitas lahan yang rendah, kualitas yang rendah, tidak adanya trust diantara para pelaku dan masih banyak sekali PR pada level rantai pasok maupun pada level kebijakan sektoral.

Pada kebijakan sektoral, muncul pertanyaan, yaitu ke arah mana akan dibawa ? Selama ini agroindutri karet kita hanya sebatas menghasilkan produk antara semacam RSS, SIR, Brown Crepe dan hasil intermediate industry. Ke manakah produk-produk itu dijual apabila tidak untuk tujuan ekspor. Karena kebutuhan akan produk-produk tersebut tinggi secara global, maka dijual ke luar kepada produsen-produsen ban.  Sering sekali produk-produk tersebut dijual ke Singapura dan dijual kembali ke Indonesia dengan harga yang lebih tinggi. Dalam hal ini kita hanya sebagai produsen produk-produk bernilai rendah dengan menggunakan tenaga kerja dan sumber daya yang banyak berupa lahan untuk kemudian diekspor. Pabrik ban nasional, untuk mendapatkan bahan baku harus mengimpor dari Singapura. Dapat dilihat bahwa rente ekonomis terbesar adalah pada eksportir yang memperoleh margin besar karena nilai tukar rupiah terhadap dolar.

Kedua, permasalahan tidak standarnya kualitas bokar yang seharusnya menggunakan SNI namun selama ini menggunakan standar berbasis basah (wet-based). Dengan adanya basis basah ini, maka transaksi diantara petani-pengumpul-pabrikan bersifat high risk. Petani sering sekali nakal dengan mencampur dengan bahan-bahan asing dan melakukan penggumpalan dengan bahan non standar, sedangkan pengumpul dan pedagang antara karena tidak ingin rugi akhirnya berusaha membeli serendah-rendahnya untuk menghindari resiko. Dengan adanya kecenderungan itu, sering sekali terlihat bahwa diantara pelaku sering "kucing-kucingan" dan tidak transparan.






No comments:

Post a Comment