Tuesday, April 22, 2014

Mempertanyakan Efektivitas Indikasi Geografis Lokalitas Indonesia

Pernahkah anda dengar istilah indikasi geografis atau produk berindikasi geografis ?
Apakah anda tahu bahwa beberapa produk lokal pertanian Indonesia telah mengantongi sertifikat yang menyatakan asal muasal ?

Kalau belum mendengar alangkah baiknya kita bareng-bareng ngebahas apa yang disebut dengan indikasi geografis dan potensinya terhadap perdagangan produk lokal Indonesia ?

Baiklah, secara sederhana mari kita lihat Indonesia Raya ini, sebuah negeri yang konon kaya raya akan hasil alam. Sejak jaman sebelum bangsa Eropa datang ke Nusantara, kerajaan-kerajaan pribumi telah berdagang dengan pedagang-pedagang dari Cina, India, Persia, Arab maupun pedagang-pedagang dari belahan bumi lain. Kelebihan kepulauan Indonesia adalah posisinya di seputaran katulistiwa yang hanya memiliki dua musim beserta tanah vulkaniknya yang subur. Setelah bangsa Eropa sampai di Nusantara, mereka kemudian melihat potensi untuk menguasai sumber-sumber yang berelimpahan itu.  Dan kita tahu semua akhir dari kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia. Karena pengumpulan modal/akumulasi modal, bangsa Eropa kemudian menjadi penggerak pertumbuhan dunia, sehingga pada akhirnya, bangsa-bangsa di seputaran khatulistiwa hanya bisa mengandalkan pada keberlimpahan sumber daya dan harus mengejar ketertinggalan dalam hal teknologi dan penguasaan modal.


Bagaimana dengan negeri-negeri yang tertinggal dan terutama masih mengandalkan pada komoditas pertanian ? Well, hasil alam berupa komoditas itu hanya memiliki nilai tambah kecil dalam perdagangan. Namun lucunya, apabila pasokan tersendat, komoditas melambung tinggi di daerah konsumsi (baca : negara maju) dan mengalami scarcity. Namun apabila berlimpah maka harga turun dan negara maju senang dan happy. Masalahnya adalah, dalam rantai pasok global, produsen yang sebenarnya (petani) biasanya mendapatkan keuntungan yang kecil sedangkan keuntungan besar pada pedagang antara dan produsen hilir.

Petani kopi mendapatkan keuntungan kecil dibandingkan eksportir, importir dan roaster yang memperoleh ekonomi rente yang tinggi. Mengapa ? Karena kopi dalam bentuknya yang komoditas bersifat indeferen satu sama lain. Sebagai ilustrasi, kopi arabika yang berkualitas tinggi dicampur dengan robusta yang rendah harganya akan menghasilkan bulk commodity dengan harga yang lebih rendah dibandingkan kopi arabika dalam volume yang sama. Hal ini disebabkan tidak ada diferensiasi produk dan kualitas. Petanipun jadi enggan untuk menanam dan memproduksi kopi yang berkualitas tinggi, karena toh harganya juga sama.

Lalu muncullah HAKI untuk lokasi geografis atau indikasi geografis yang memberikan kekhasan produk lokal yang memberikan kualitas dan citarasa yang berbeda-beda. Misalnya, jaman sekarang ada produk Arabika Gayo, Kintamani, Mandhailing, Bajawa, Toraja yang masing-masing berbeda citarasa sesuai dengan asal daerahnya. Untuk tanaman kopi, teori mikroklimat berlaku, dimana suatu varietas ditanam pada tanah dan iklim yang berbeda akan menyebabkan citarasa dan berbeda pula. Bagitu pula branding suatu wilayah penghasil tertentu mempegaruhi persepsi pembeli. Berdasarkan survei lapangan yang telah dilakukan, brand Arabika mempengaruhi harga di petani. 

Dengan alasan tersebut, maka banyak sekali pemerintah daerah yang memotivasi sertifikasi bagi produk-produk berbasis lokal diluar kopi, misalnya salak pondoh sleman. Pertanyaan selanjutnya adalah, cukup efektifkah indikasi geografis bagi peningkatan kesejahteraan petani untuk produk-produk diluar kopi ? Pertanyaan ini perlu diajukan karena rantai pasok untuk masing-masing komoditas pertanian berbeda-beda, sehingga efektivitas IG pada kopi belum tentu sama untuk komoditas lain.







No comments:

Post a Comment